Pages

Minggu, 19 September 2010

Berbagi kisah tentang Panglima Burung dari Dayak

Dalam masyarakat Dayak, dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat agung, sakti, ksatria, dan berwibawa. Sosok tersebut konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib. Pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Ialah panglima perang Dayak, Panglima Burung, yang disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman.


Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok ini, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.

Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.

Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.

Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.

Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang. Riuh rendah tak berubah menjadi ketegangan di ruang yang lingkup–yang oleh orang Dayak Ngaju disebut Danum Kaharingan Belum.

Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.

Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan
mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.

Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.
Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.
Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya–entah itu balas dendam, ekonomi, kesenjangan sosial, dan lain-lain–tetap saja tidak dapat dibenarkan. Mata dibalas mata hanya akan berujung pada kebutaan bagi semuanya. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.

Orang dayak itu putih2 lugu seperti orang badui di ujung kulon terbuka dan ramah2.Tapi kalo dah perang .....kacau

ngayu ..
kepercayaan suku di dayak ngumpulin kepala orang agar roh orang itu menjaga suku kaumnya, rambut yg dikumpul di tarok di belakang gangang goloknya makin tebal makin sakti dan gengsinya makin tinggi pula... ya ini tradisi jaman dulu yg dilarang waktu pemerintahan Belanda. Sebenarnya ini khasanah budaya kita.
Seperti orang di perbatasan papua nyolong orang buat di makan..
Masih animisme.....tentu serem bangeeeet.

Kalo boleh cerita sih ...
Panglima Burung Pimpinanya Wanita dan terbang menembus hutan Formasi seperti segi tiga makin ke belakang makin banyak...
Mata badan seperti logam tidak ada bulatan hitam
Ini diliat live wartawan teman adik yg meliput kesana waktu itu maaf ...orang m*** mengungsi ke markas tni supaya tidak mendekat pihak piket melontarkan peluru ...orang dayak itu tidak ada yg roboh sepertin tidak terjadi apa2.....tapi para penyerang tdk jsampe masuk...
Dan waktu die naik bis pernah juga sekelebat mandau terbang di dalam bis dan tepat mengena orang tertentu didalam bis... ini yg buatnya stress...
wilayah yg di lewatin ikut gabung

Mangkok merah di tuang sekeliling kampung dan di sungai, orang yg bukan keturan dayakpun pasti terasuki hawa perang bahkan bisa lebih gila lagi ini cerita orang2 melayu yg kena bahkan darah korban di minum, setelah kerusuhan reda maka banyaklah orang melayu yg stress karna perbuatan mereka dulu.....Dan suku di hulu sungai pasti tau orang yagn di hilir kirim berapa orang untuk perang sedangkan yg nuang makok orang yg di hilir...aliran sungai dari hulu ke hilir. Dan janjinya menyerang pasti diserang makanya kudu mengungsi....

Waktu konfrontasi sama malaysia.. malaisia memekarkan wilayah wilayah suku dayak terkena.
Malaysia menurunkan Pasukan, pasukan di pinjam dari Inggris yaitu pasukan elit dunia GURKA (orang2 keahlian berperang asal wilah tibet sekutunnya ingris).
Kali ini pasukan malasia itu kalah sama orang dayak. dengan senjata sederhana mandau....he..he

Dan pada kedatangan Sultan Sambas sempat perang ...tapi tidak kontak
Palima burung dengan ilmu tertingginya dan pasukan sedang terbang di hutan menyerang kesultanan Sambas dengan ayat Kitabullah kalo ngk salah ayat qursy...rontoklah pasukan tersebut maka mereka takluk sama Kesultanan Sambas....karna ngak sempat kontak tidak terjadi pertumpahan darah makanya orang melayu dan dayak akur2 aja.

Kalo cerita livenya sih saudaraku yg berguru sampe ilmu terakhir digunung semunya angka 3. 3 bulan cari guru dan gurunyapun 3 orang temanya dah cukup pulang tapi saudaraku tetap pingin berguru lagi maka nunjuk di gunung itu ...singkat cerita setelah berguru denga seorang digunung 3 hari kemudian gurunya meninggal. dapet oleh2 mandau titiknya aku lupa 3 atau 4
titik atau berapalah tapi yg jelas besinya seperti baja putih. di titk mandau ini bukan banyaknya2 korban tetapi logam2 lain yang di tanam di mandau itu dan mata sebelah seperti pahat kalau 2 belah seperti parang biasa ya buat kekebun katanya....
Banyak juga ceritanya ada lagi tiupan seperti seruling untuk memanggil pasukan itu (panglima Burung). Ini yg di lakukanya waktu pembersihan ilmu di rumah kebetulan saudara yg lain ingin membuangnya perlu tahunan..karna bawaanya galak melu2..
lama nyari ilmunya dan lama juga membuangnya kalo ditanya apa hasilnya ZIRO kanya 0 besar....he..he ya saya maklum karna ia orang kecil yg kerja di tempat yg keras ABK kapal...
Salah satu kekhasan suku Dayak adalah adanya seseorang Raja Dayak yang di kenal sebagai Raja Hulu Aiq (RHA). Tidak seperti raja yang lain, RHA tidak mempunyai kekuasaan politis; beliau bukanlah seorang raja dengan pemerintahan feodal. Pada kenyataannya, RHA tidak mempunyai pemerintahan sama sekali. Beliau adalah pemimpin spiritual tertinggi orang Dayak. Wilayahnya disebut Desan Sembilan Demung Sepuluh, akan tetapi bukan dalam arti wilayah sebuah negara. Wilayah tersebut lebih menunjukkan ikatan kultural yang mengakui beliau sebagai pemimpin adat tertinggi. Orang Dayak di wilayah Desa Sembilan Demung Sepuluh percaya bahwa RHA adalah orang yang ditakdirkan untuk menjamin nasib baik suku Dayak, terutama dalam kaitannyadengan kegiatan pertanian. Oleh sebab itu, penghormatan khusus selalu diberikan kepada RHA dengan menyebut namanya dalam setiap doa yang dilakukan orang Dayak dalam ritual-ritual.

Wilayah Desa Sembilan Demung Sepuluh sebenarnya meliputi seluruh pulau Kalimantan, termasuk Sarawak, Sabah dan Brunei Darussalam. Sembilan Desa tersebut adalah:
1. Buliq-Belantiq (sekarang di propinsi Kalimantan Tengah)
2. Puring-Katingan (juga di Kalimantan Tengah)
3. Kayung-Tayap (di Kabupaten Ketapang, KalBar)
4. Jalai-Pesaguan (di Kabupaten Ketapang, KalBar)
5. Jekaq-Laur (di Kabupaten Ketapang, KalBar)
6. Bilhaq-Krio (di Kabupaten Ketapang, KalBar)
7. Desa Darat Pantai Kapuas (sepanjang sungai Kapuas dan anak sungainya)
8. Mahap-Sekadau (sekarang Kabupaten Sanggau)
9. Sabah-Serawak (sekarang di Malaysia, termasuk Brunei Darussalam).
Sabtu, 29 Oktober 2005
Wafat, Panglima Burung Dimakamkan

Meliau,- Rintik hujan di pagi hari tanggal 27 Oktober 2005, turut mengiringi pemakaman salah satu putra terbaik Kalbar yakni Panglima Burung di Taman Makam Pahlawan Meliau. Warga terlihat berjubel ikut mengantar kepergian Panglima Burung ke liang lahat.

Prosesi pemakaman Panglima Burung yang memiliki nama asli Burung Mansau kelahiran Merakai Panjang Kabupaten Kapuas Hulu itu, berlangsung dengan khidmat dibawah rintik hujan menyirami bumi pertiwi.

Panglima Suku Dayak yang dilahirkan pada tanggal 14 Nopember 1914 atau 91 silam tersebut, dikenal sebagai pejuang yang turut mengusir penjajah Jepang. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Meliau. Di tempat itu juga telah dimakamkan patriot bangsa lain yang dikenal dengan Pangsuma (namanya diabadikan menjadi nama Gedung Olah Raga Pangsuma di Pontianak,red). Hadir dalam pemakaman itu Bupati Sanggau, Dandim 1204 Sanggau, DPRD Sanggau, DPRD Provinsi Kalimantan Barat, jajaran PTP Nusantara 13, Muspika Kecamatan Meliau dan masyarakat.

"Panglima Burung pernah turut mengusir penjajah Jepang. Bahkan hingga akhir hayatnya, masih dipercaya turut membantu menangani masalah Kamtibmas berkaitan dengan peristiwa kerusuhan beberapa tahun terakhir ini. Termasuk ketika terjadi kerusuhan di Sampit," ujar Bernadus Tokoh Masyarakat Meliau mewakili pihak keluarga yang sedang berduka.

Sementara itu Camat Meliau Budi Suroso SSos mengatakan, bahwa Panglima Burung bukan hanya milik masyarakat Meliau, masyarakat Sanggau atau masyarakat Kalbar pada umumnya. Akan tetapi juga menjadi milik bangsa Indonesia karena jasa - jasanya terhadap bangsa ini.

Hal senada disampaikan Bupati Sanggau Yansen Akun Effendy, bahwa banyak yang bisa dicontoh pada diri Panglima Burung. Karena dia tidak mementingkan diri sendiri, kelompok atau golongan tertentu.

"Tetapi Panglima Burung lebih mengedepankan kepada kepentingan orang banyak," kata Yansen.

Sebelum dimakamkan, jenazah Panglima Burung terlebih darhulu disemayamkan di Yayasan Pemakaman Bhakti Karya. Setelah itu dibawa ke gereja katholik untuk disembahyangkan dengan dipimpin langsung Pastor Paroki Meliau P Yosef Gheru Kaka. Selanjutnya tanggal 27 Oktober 2005 jenazahnya diberangkatkan ke Taman Makam Pahlawan diiringi masyarakat Meliau. (an)

<>Hari senin (2/03/08) berlangsung deklarasi pengurus Pemuda Asli Suku Kalimantan (PUSAKA) dan Pemuda Suku Asli Kalimantan (PASAK). Pelantikan pengurus periode tahun 2008 - 2012 ini berlangsung di Lapangan Bola Panglima Batur dan dihadiri oleh sekitar 3000 lebih simpatisan organisasi tersebut .


Selain simpatisan juga dihadiri oleh pengurus Pusaka Kaltim dan Pengurus Anak cabang di beberapa wilayah di Utara Kaltim. Juga tampak dari Polresta Tarakan, Kodim, DPRD dan Wakil Walikota Tarakan.

Yang mengejutkan para peserta dan para undangan adalah kehadiran Panglima Burung yang diapit oleh beberapa orang kepercayaannya. Dengan menggunakan pakaian kebesarannya dan bertopi mirip orang Eskimo mereka dijadikan tontonan yang menarik para peserta deklarasi.


Dalam sambutannya Wakil Walikota Tarakan H.M Thamrin AD, SH mengatakan keberadaan Pusaka dan Pasak adalah cermin keberagaman yang luhur dari Bangsa Indonesia. Ia menjadi perekat kebersamaan dalam rangka berbangsa dan bernegara .

Oleh karenanya ia mengingatkan agar kesatuan NKRI menjadi prioritas dan harus menjadi pilihan utama. Sudah banyak contoh permasalahan yang muncul adalah disebabkan ketidakkompakan dan mau menang sendiri. ”Itu harus dikikis habis dan utamakan persatuan dan kesatuan", tekan Wawali.

Sementara itu ketua PAC Pusaka Drs H. Masdar Zemy M.Si mengatakan keberadaan Pusaka dan Pasak memang lebih dititikberatkan pada pembinaan dan memuncul seni dan akar budaya. Dengan cara itu akan terjadi pencitraan yang positf terhadap organisasi. Ia setuju NKRI adalah merupakan sebuah keputusan yang final dan harus dijaga sekuatnya.
Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok panglima tertinggi masyarakat Dayak, Panglima Burung, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.

Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.

Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.

Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.

Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.

Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.

Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.

Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.

Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.

Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.

Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya, tetap saja tidak dapat dibenarkan. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.

PONTIANAK, (SiaR, 4/3/97). Mangkok Merah tiba-tiba menjadi
kosakata yang penting dalam pertikaian antara etnik Madura dan
Dayak di Kalimantan Barat. Alat komunikasi tradisional ini ber-
fungsi sebagai pembawa pertanda bahwa ada sekelompok masyarakat
Dayak yang membutuhkan bantuan dari seluruh masyarakat Dayak.

Selain sebagai alat komunikasi dengan sesama orang Dayak,
Mangkok Merah juga berfungsi sebagai penghubung dengan roh nenek
moyang. Orang Dayak percaya bahwa melalui Mangkok Merah roh para
leluhur akan membantu mereka dari serangan pihak luar. Roh lelu-
hur dalam adat Dayak Kanayatn (sub-etnik mayoritas di Kalbar)
disebut Dewa Sakti yang terdiri atas tujuh roh bersaudara. Mereka
bernama Bujakng Nyangko Samabue, Kamang Muda Santulangan, Sarukng
Sampuro, Sansa Lalu Samarawe, Bujang Gila Palepak, Nyaro Nyan-
takng Pajamuratn dan Bensei Sampayangan. Tujuh roh leluhur ber-
saudara ini tinggal di tujuh tempat yang berlainan. Untuk memang-
gil roh-roh Dewa Sakti ini, hanya Panglima Adat yang berwenang
melakukannya.

Sejumlah perangkat harus disiapkan oleh Panglima Adat sebe-
lum upacara pemanggilan roh Dewa Sakti. Mangkok yang terbuat dari
teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang
didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai
mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi
jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada
yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam
merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang
mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia
(metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari
kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas
dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.

Mangkok Merah dibawa Panglima ke panyugu yakni sebuah tempat
yang dianggap keramat pada saat matahari terbenam. Di panyugu,
Panglima dengan "Bahasa Roh" meminta petunjuk roh Dewa Sakti. Roh
Dewa Sakti akan menjawab dengan tanda-tada alam yang oleh Pangli-
ma akan diterjemahkan apakah Mangkok Merah sudah saatnya atau
belum untuk diedarkan.

Jika Panglima pulang ke kampung dengan teriakan-teriakan
magis tertentu yang diteriakkan dengan suara nyaring, maka Dewa
Sakti sudah mengijinkan Mangkok Merah diedarkan. Roh salah satu
tujuh bersaudara Dewa Sakti tadi sudah "berkarya" di dalam tubuh
sang Panglima. Masyarakat sudah bisa menangkap apa yang terjadi.
Mereka berkumpul di lapangan memegang mandau, perisai dan senjata
lantak dengan kain merah terikat di kepala, siap untuk berperang.

Dalam sekejab, Panglima menularkan roh Dewa Sakti kepada
orang-orang tadi. Pangarah (kurir) ditunjuk Panglima untuk men-
gantarkan bungkusan kain merah itu ke kampung lain. Konon, panga-
rah biasanya berjalan setengah terbang dan dalam waktu sekejab
disertai teriakan ritual, pangarah sudah sampai di kampung lain.

Panglima kampung tetangga, dengan kekuatan supranaturalnya, akan
mengetahui kedatangan pangarah dan menjemputnya bersama
masyarakat. Pangarah mengabarkan siapa musuh yang harus dihadapi.
Panglima kampung tersebut kemudian menularkan roh Dewa Sakti
kepada masyarakat yang telah berkumpul. Upacara seperti itu terus
berlangsung di seluruh wilayah yang bisa dijangkau hingga diang-
gap cukup untuk menghadapi musuh. Jika perang dianggap selesai
uparaca pengembalian Roh Dewa Sakti yang disebut Nyaru Semangat
akan dilakukan. Dengan sejumlah upacara adat induk roh (induk
Tariu) tersebut dikembalikan ke tempat asalnya.

Dalam pertikaian dengan suku Madura kali ini induk roh Dewa
Sakti, menurut sumber SiaR terdapat di Sanggau Ledo, tempat di
mana roh Dewa Sakti untuk pertamakalinya dipanggil dan Mangkok
Merah diedarkan.

Mangkok Merah di kalangan suku Dayak Kanayatn juga dipercaya
menambah kesaktian. Dengan ikat kepala warna merah, orang-orang
Dayak yang merasa roh para leluhur itu telah berkarya di dalam
tubuhnya bisa mengenali mana lawan dan kawan hanya dengan indra
penciumannya.

Dalam pertikaian dengan etnik Madura yang sudah berlangsung
lebih dari dua bulan ini, ratusan Mangkok Merah disebar ke segala
penjuru Kalbar. Ratusan pangarah secara estafet membawanya dari
kampung ke kampung. Tanpa mengenal lelah mereka menembus hutan,
menyebrang rawa dan sungai untuk menyatakan bahwa perang telah
dimulai.

Dampak beredarnya Mangkok Merah ini memang dasyat. Ribuan
orang Dayak, laki-laki dan perempuan yang terkena pengaruh magis
Mangkok Merah bergerak di bawah komando panglima perang. Para panglima perang
biasanya menggunakan nama-nama alam seperti
Panglima Burung, Panglima Halilintar atau Panglima Angin. Pangli-
ma perang tertua dan terkenal dari suku Dayak Kanayatn bernama
Panglima Burung yang berusia 82 tahun.

Daya magis Mangkok Merah konon bisa membuat prajurit Dayak
tak mempan dibacok, tahan lapar hingga sebulan dan bisa melesat
cepat di dalam hutan. Hampir tiap hari, pasukan ABRI menemukan
sekelompok orang Dayak di sebuah tempat yang jaraknya ratusan
kilometer dari tempat asal mereka. Dengan sejumlah truk ABRI
mengembalikan para prajurit Dayak yang "terdampar" di suatu
tempat ke tempat asal mereka.

Mangkok Merah biasanya digunakan jika orang Dayak benar-
benar terpaksa. Segala macam akibat yang akan ditimbulkan akan
dipertimbangkan masak-masak karena korban jiwa dalam jumlah besar
sudah pasti akan berjatuhan.

Mangkok Merah pernah digunakan untuk menangkap tokoh komunis
yang bernama Sofyan di perbatasan Kalbar - Serawak tahun 1967.
Karena Mangkok Merah, Sofyan dan tokoh-tokoh komunis lainnya
dengan mudah diketahui tempat persembunyiannya. Sofyan akhirnya
ditembak mati pasukan ABRI di Terentang, Kabupaten Pontianak.
Seorang tokoh Dayak Kanayatn, anggota FKP DPRD I Kalbar menutur-
kan kepada sumber SiaR di Pontianak bahwa ia pernah bertindak
sebagai Panglima dalam ritual Mangkok Merah. "Mangkok Merah
benar-benar nyata walaupun nampaknya tidak masuk di akal," kata-
nya. Ketika menjadi Panglima dalam ritual Mangkok Merah melawan
gerakan komunis yang dipimpin Sofyan tahun 1967, pasukannya
berhasil mengenali dan membunuh kaum komunis.***
Palangka Raya, 18 Juni 2001 14:29
Panglima Burung, tokoh spritual yang banyak disebut-sebut saat terjadi amuk massa Dayak di Sampit kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Kalimantan Tengah mengunjungi masyarakat Dayak terutama di Sampit dan Palangka Raya, pekan lalu.

Panglima Burung yang memiliki nama asli Balan (89) banyak bercerita tentang sifat yang menonjol pada orang Dayak yaitu tidak pernah menyusahkan orang lain.

"Orang Dayak itu sebenarnya tidak pernah dan tidak akan menyusahkan orang lain, apalagi merusak," ucapnya mengomentari akibat yang ditimbulkan dari amuk massa Dayak ketika terjadi konflik dengan etnis Madura.

Panglima Burung yang saat ini menetap di desa Marakai Panju kecamatan Nanga Kantu Putu Sibau kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat itu menyatakan penyesalannya tidak dapat datang langsung ke Sampit saat terjadi konflik dan pertikaian antara orang Dayak dengan orang Madura.

Sosok Balan yang punya isteri sembilan orang itu terkesan jauh dari kebesaran nama Panglima Burung yang disandangnya dan dianggap sebagai "sosok sakral" oleh masyarakat Dayak.

Ia layaknya hanya orang tua yang lebih suka menceritakan perjalanan hidup semasa perjuangan merebut kemerdekaan di daerah kelahirannya di propinsi Kalbar.

Kakek Balan yang memiliki gelar Panglima Burung itu menyarankan masyarakat Dayak untuk dapat bersatu dalam kebenaran dan kembali kepada kehidupan semula.

Kakek Balan yang dikaruniai tiga anak itu menyatakan kecewa terhadap orang yang mengaku sebagai pasukan Dayak namun justru untuk tujuan melakukan pemerasan terhadap orang lain dengan menjual-jual isu Madura.

Menurut Panglima Burung, kunci untuk mengakhiri persoalan akibat "perang" Dayak-Madura yaitu dengan memberlakukan hukum adat yang berlaku dan wajib dipatuhi bagi siapa pun yang tinggal di wilayah Kalteng.

Mungkin ini sepenggal kisah yang di dapat dari bebrapa sumber, namunsecara langsung certa beliau dan kejadaian sampt madura bisa di tanyakan masayarakat di KAlimantan Tengah khususnya karena tempat kejadian dan kisah nyata dan realnya ada.
saya hanya mengambarakan jangan sampi hal ini berulang kembali Takut dan mengerikan

Berbagai Sumber

Tidak ada komentar: