Pages

Sabtu, 13 November 2010

MENGAPA PRESIDEN AMERIKA SERIKAT HARUS MEMBAWA LIMOUSINE SENDIRI?

Presiden Amerika Serikat, Barack H Obama melakukan lawatan kenegaraan selama sepuluh hari ke-empat Negara Asia, termasuk diantaranya Indonesia.

Dalam perjalanan kenegaraan ini, Presiden Obama membawa kendaraan darat sendiri, Mobil Limosin.

Kenapa Presiden Obama membawa sendiri sarana yang seolah sederhana, sebuah mobil?. Apakah karena tidak percaya terhadap Indonesia, atau kepada Jepang?.



Karena rumor yang beredar, bahkan dalam radius tertentu, senjata prajurit atau pasukan pengawal yang bukan dari Amerika Serikat harus kosong peluru. Termasuk pasukan TNI yang siaga di ruang terminal Bandara Halim Perdanakusuma.

Tentu saja, dalam radius tertentu, yang mungkin menjangkau atau menembak Obama. Namun, ternyata alasan kepercayaan terhadap negara sahabat bukanlah alasan utama. Namun, mobil Limosin ternyata lebih berperan sebagai benteng pertahanan ‘Amerika Serikat’.

Mobil ini, adalah mobil yang diidentifikasi sebagai Cadillac, atau lebih keren disebut Cadillac one. Mobil ini memiliki kemampuan pertahanan sekuat tank dengan perlengkapan super canggih, termasuk kaca anti peluru.

Ditelusuri dari tangki bahan bakar, Limosin dilapisi dengan gabus khusus yang tidak akan terbakar jika kena tembakan.

Buntut mobil, menyimpan oxygen dan perlengkapan pemadaman api. Kabin belakang bisa menampung empat penumpang dengan pembatas kaca. Hanya Obama yang punya tombol untuk menurunkan, tombol kepanikan disediakan jika Obama minta bantuan.

Mobil seharga 300.000 foundsterling ini memiliki tempat duduk belakang yang merupakan paket eksekutif dengan pitur meja lipat, laptop dengan wifinya. Tidak ketinggalan, telepon satelit dan akses langsung ke wakil presiden dan ke Pentagon, Markas Besar Militer Amerika Serikat.

Pintu mobil sepanjang 6 meter ini sama beratnya dengan pintu pesawat jet Boeing 757, anti peluru dan ketebalannya 8 inchi. Chasis mobil diesel 6,5 lt ini adalah plat baja setebal 5 inchi sepanjang bawah mobil. Antisipasi jika ada hal-hal yang tidak diinginkan atau ada bom dibawah mobil.


Ban Limosin terbuat dari bahan kevlar yang dimampatkan dan tahan tusukan dengan lapisan baja dibawahnya, memungkinkan mobil tetap melaju walau bannya terlepas. Asesori pertahanan diantaranya kamera night vision dan senjata dengan tombol pompa. Juga dipersenjatai dengan meriam gas air mata.

Botol stok darah presiden juga ada di mobil jika keadaan darurat, presiden perlu transfusi darah. Kaca depan, kuat menahan tembusan peluru tajam.

Jendela hanya terbuka 3 inchi jika pengendara harus membayar toll atau berbicara dengan agen paspampres 'secret service’ yang berada di sebelah.

Sopirnya adalah orang yang terlatih dari CIA untuk menghadapi keadaan mengemudi yang paling buruk. Mobil ini bisa langsung masuk ke pesawat Air Force One, yang selalu digunakan oleh Presiden Amerika Serikat dalam perjalanan udara jarak jauh.

Air Force One adalah sebuah simbol yang paling dikenal dari kepresidenan Amerika, menyebar sebagai referensi. Tidak hanya di Benoa Amerika, tapi juga di seluruh dunia.

Bertuliskan kata-kata ‘United State of America,’ bendera Amerika dan lambang kepresidenan Amerika Serikat, adalah penampakan kasat mata ke mana pun dia terbang.

Bahkan, pesawat bisa mengisi bahan bakar di udara dan tidak punya batasan jarak guna membawa Presiden kemanapun dia perlu melakukan perjalanan.

Pesawat dilengkapi dengan komunikasi canggih yang aman dan bisa difungsikan sebagai pusat komando militer.

Didalamnya, Presiden dan rombongannya bisa menikmati area seluas seribu meter persegi dalam tiga lantai. Termasuk ruang suite untuk Presiden dengan pitur kantor yang luas, toilet dan ruang rapat.

Bila dilihat didalamya seperti kamar hotel tidak seperti pesawat terbang . Pesawat juga dilengkapi suite medis yang berfungsi ganda sebagai ruang operasi, dengan dokter tetap pesawat. Dapur tempat persiapan bisa menyiapkan makanan untuk 100 orang sekali memasak.

Air Force One juga tempat bagi para penasehat senior presiden, Pengawal Dinas Rahasia (Secret Service), dan tamu yang ikut perjalanan. Sejumlah pesawat kapal kargo biasanya terbang mendahului untuk mennyediakan pelayanan yang diperlukan President di daerah terpencil.

Air Force One bisa membawa 70 penumpang dan 26 crew. Pesawat ini dilengkapi dengan 85 telepon, radio komuikasi, mesin fax dan koneksi komputer. Telpon diatur untuk percakapan udara dan darat dengan koneksi super aman.

Sarana komunikasi yang dilapisi dengan pembungkus yang super kuat agar terlindung dari electromagnetic atau ledakan nuklir.

Pesawat ini juga dilengkapi sistem pertahanan ekstra, tidak tertandingi oleh pesawat tempur tercanggih dan terhebat sekalipun. Sistem radar pengendali lawan, juga bisa melepaskan lampu pijar menyala untuk menangkal peluru kendali penyasar panas. [erabaru.net]
http://asaborneo.blogspot.com
»»  BERIKUTNYA...

New Kids On The Block (Free Mp3 Download)








Beberapa hari yang lalu ada seorang teman di kantor membicarakan boyband lawas New Kids on the Block yang tengah meluncurkan lagu baru. Jadi ingat memori jadul tentang group vokal mantan idola remaja di seluruh dunia ini. Sekalian gue ingin membuat pengakuan bahwa gue pernah suka pada lagu-lagu mereka. Semoga tidak terlalu memalukan mengaku pernah suka pada boyband.


Gue masih ingat pada satu-satunya album NKOTB yang pernah gue beli. Judul albumnya Hangin’ Tough. Bentuknya kaset. Nama toko kasetnya “Mira”. Di toko kaset itu gue pernah sekali melihat seorang cewek ABG yang tanpa dinyana berseru histeris hanya karena diberitahu oleh si penjaga toko bahwa album terbaru NKOTB sudah tiba. Syukurlah gue bukan termasuk orang yang doyan berhisteria massa seperti dirinya.



Dari album Hangin’ Tough ada sebuah lagu yang dulu sangat gue suka. Judulnya You Got It (The Right Stuff). Terletak di urutan pertama side A. Sewaktu berkegiatan study tour jaman sekolah gue ingat sempat menyanyikan lagu ini bersama dengan teman seperjalanan. “O o o wo o… O o wo o…. The Right Stuff…..”, begitu kurang lebih bagian refrainnya.



Album NKOTB yang lain gue tidak pernah memiliki, paling banter cuman meminjam. Termasuk album Step By Step yang gue pinjam dari teman kelas sebelah. Tidak tahu kenapa gue sangat membenci lagu Step By Step yang menjadi maskot album tersebut. Kesannya norak sekali. Rasanya lagu Tonight jauh lebih enak didengar. Tetapi di kalangan ABG lagu Step By Step menjadi tembang wajib.

Interaksi terakhir gendang telinga gue dengan lagu rilisan NKOTB terjadi pada awal era 90-an. Ada satu lagu milik mereka yang sangat gue suka. Judulnya If You Go Away. Lagu itu wara-wiri di chart musik radio di kota tempat gue tinggal. Di kalangan ABG lagu ini juga cukup populer. Lagu itu menjadi penanda perpisahan ruang dengar gue dengan mereka. Tidak berapa lama NKOTB pun bubar.



Donnie Wahlberg, Dany Woods, Jordan Knight, Jonathan Knight, dan Joey McIntyre (dari kiri ke kanan pada foto di atas). Pasti sosok mereka berlima pernah singgah barang sekejap di ruang pandang atau dengar kita yang sempat mengalami masa NKOTB menjulang di seluruh dunia. Mereka seolah membuka jalan bagi barisan boyband yang menjamur kemudian. Backstreet Boys, NSync, Take That, dll sepertinya harus berterima kasih pada NKOTB.



Rasanya malam ini gue ingin sekali kembali mendengarkan lagu-lagu lawas mereka. Kebetulan ada sejumlah lagu yang gue miliki mp3 nya. Gue share sekalian kalau ada yang ingin bersama-sama menikmatinya. Sekedar saran, sambil mendengarkan lagu-lagu ini ada baiknya dibayangkan rupa mereka saat itu. Bukan rupa saat ini. Karena sekarang mereka lebih cocok dikatakan sebagai New Oom-oom On The Block.

————————————————–

Download free mp3 for these songs. Just click on the song title.

Step by Step

You Got It (The Right Stuff)

I’ll Be Loving You (Forever)

Cover Girl

Didn’t I (Blow Your Mind)

Please Don’t Go Girl (7″ version)

Tonight

This One’s For The Children

Valentine Girl

Let’s Try It Again

Hangin’ Tough

If You Go Away

Baby, I Believe in You

Call It What You Want

Berhubung pakde Dino sudah ngomongin masalah lagu baru NKOTB, sekalian aja gue kasi link nya berikut. Gue jg baru denger nih

Summertime
»»  BERIKUTNYA...

Jumat, 12 November 2010

Daftar tokoh keturunan atau kelahiran Indonesia

Berikut adalah orang-oarng yang menjadi tokoh di luar Indonesia yang berasal dari atau memiliki keturunan Indonesia (termasuk mereka yang lahir di Indonesia/Hindia-Belanda, tanpa memperhatikan silsilahnya). Daftar ini dibagi menurut tempat tinggal tokoh yang bersangkutan atau tempat ia menjadi tokoh.

Afrika Selatan

Amerika Serikat

[sunting] Arab Saudi

[sunting] Australia

[sunting] Brazil

Belanda

Karena hubungan politik, perdagangan, dan budaya selama 300 tahun, banyak warga Belanda yang memiliki keturunan Indonesia. Diperkirakan sekarang terdapat sekitar 500 ribu orang yang memiliki keterkaitan dengan Indonesia, terutama berdasarkan keturunan, dan menjadi satu kelompok minoritas terbesar (Indisch-Nederlanders atau orang Indo) di Belanda.

Belgia

Cina

Filipina

Hongkong

Indonesia

Italia

Jepang

Jerman

Malaysia

Banyak sekali warga Malaysia memiliki garis keturunan dari Indonesia.Banyak Warga malaysiajuga merupakaan keturunan Palembang Hal ini dubuktikan dengan ekspedisi Pamalayu yang menyebutkan bahwa pendiri Kesultanan Melaka Pertama berasal dari Palembangyaitu Parameswara. Raja-raja Johor dan Selangor memiliki keturunan Bugis, sementara pemimpin dan warga asli Negeri Sembilan merupakan perantau asal Minangkabau (secara adat, Negeri Sembilan adalah salah satu bagian dari wilayah Minangkabau).

Perancis

Qatar

Rusia

Singapura

Suriname

Warga negara Suriname keturunan Indonesia adalah keturunan dari tenaga kerja perkebunan yang didatangkan dari Pulau Jawa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Untuk informasi lebih lengkap, lihat sejarah Suriname.

Swedia

Taiwan

Thailand

»»  BERIKUTNYA...

Orang Indo

Artikel ini mengenai kelompok etnis perpaduan antara Eropa dan Indonesia. Untuk pengertian lain, silakan melihat Orang Indo (disambiguasi)
Indo
Indo-Europeanen
Indo Eurasian Dress Java 1922.jpg
Tiga orang Indo bersiap-siap ke pesta dansa (1922)
Jumlah populasi

sekitar 1.000.000 di Indonesia (pendugaan), sekitar 500.000 di Belanda

Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Belanda, Indonesia, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Britania Raya, Kanada
Bahasa
Belanda, Indonesia, Pecok, Inggris
Agama
Kristen, Islam, dll.
Kelompok etnis terdekat
Belanda; suku-suku di Indonesia, terutama Maluku, Jawa, Sunda dan Minahasa; Jerman

Orang atau kaum Indo (singkatan dari nama dalam bahasa Belanda, Indo-Europeaan, "Eropa-Hindia"[1]) adalah kelompok etnik yang ada (atau pernah ada) di Hindia-Belanda/Indonesia dan sekarang menjadi kelompok etnik minoritas terbesar di Belanda. Kelompok etnis ini dicirikan dari kesamaan asal-usul rasial, status legal, dan kultural. Kaum Indo merupakan keturunan campuran antara orang dari etnik tertentu di Eropa (terutama Belanda, tetapi juga Jerman, Belgia, dan Prancis/Huguenot) dengan ciri ras Kaukasoid dan orang dari etnik non-Eropa tertentu di Hindia-Belanda/Indonesia. Secara hukum, sebagian besar berstatus sebagai warga Eropa di Hindia-Belanda (Europeanen). Mereka menjunjung nilai-nilai budaya Eropa (terutama Belanda) dengan banyak pengaruh lokal Indonesia pada derajat tertentu dalam kehidupannya sehari-hari. Meskipun demikian, ke dalam kelompok etnik ini dimasukkan pula orang Eropa yang datang dan menetap cukup lama di tanah Indonesia atau yang lahir di Indonesia, karena di antara kalangan kaum keturunan campuran sendiri terdapat rentang fenotipe yang luas, sehingga faktor penampilan tidak bisa dijadikan satu-satunya pembatas untuk kelompok etnik ini. Kelompok berdarah campuran adalah mereka yang biasa dikenal sebagai orang Indo, Mesties (Bld.), atau Mestizos (Port.), sedangkan mereka yang "berdarah murni" Eropa dikenal sebagai totok (Mel.), blijvers (Bld.), atau kreol.

Perang Dunia Kedua dan sesudahnya menjadi titik awal diaspora bagi kaum Indo, sehingga saat ini keturunan mereka banyak dijumpai di Belanda, Indonesia, Amerika Serikat (AS), Australia, Selandia Baru, Kanada, serta beberapa negara lain. Di Belanda, kaum Indo sekarang dianggap sebagai kelompok minoritas terbesar (total sekitar 500.000 orang). Mereka dikenal dengan beberapa istilah, seperti Indisch Nederlander atau Indisch saja. Secara budaya mereka berhubungan dekat dengan kelompok etnik Maluku di Belanda. Di AS mereka dikenal sebagai Dutch Indonesian atau Indonesian Dutch dan kebanyakan bermukim di California. Di Indonesia sendiri jumlah mereka sedikit dan kebanyakan keturunannya terintegrasi/melebur dengan berbagai kelompok etnis lain walaupun kebiasaan berbahasa Belanda masih dijalankan di dalam keluarga.

Istilah "orang Indo" dalam penggunaan bahasa Indonesia masa kini mengalami pergeseran arti dan dipakai secara taksa (ambigu). Sebutan ini juga digunakan untuk menyebut semua orang Indonesia — sebagai kependekan dari "orang Indonesia" — sekaligus juga untuk menyebut peranakan campuran orang Indonesia dengan bangsa lain, tanpa melihat latar belakang asal-usul non-Indonesianya, yang tidak harus Eropa.

Daftar isi

[sembunyikan]

Sejarah

Kaum Indo terbentuk hampir seusia dengan kedatangan saudagar-saudagar Eropa, diawali oleh orang Portugis, lalu Spanyol, Inggris, dan kemudian Belanda. Bangsa-bangsa Eropa lain, seperti Belgia, Jerman, Prancis, dan Denmark berdatangan sesudahnya.

[sunting] Periode awal pembentukan: Era Portugis dan Spanyol (1500-1600)

Penjelajah dari Eropa mulai ramai datang ke Nusantara pada awal abad ke-16, sebagai konsekuensi dari Zaman Penjelajahan (Age of Exploration) yang melanda Eropa. Banyak di antara mereka yang tertarik untuk atau terpaksa menetap di negeri tujuan. Mereka adalah orang Portugis dan Spanyol beserta budak-budak mereka dari India, Sri Lanka, Malaka, atau Nusantara bagian timur (seperti Maluku, Bali, atau Gowa/Bugis). Misi Eropa berdatangan karena bisnis dan perdagangan, namun ada pula yang menetap karena tugas keagamaan (misi). Cukup banyak yang kemudian menikah atau bahkan memiliki anak tanpa ikatan pernikahan dengan penduduk setempat, mengingat pendatang dari Eropa semuanya lelaki. Di Malaya, keturunan mereka saat ini disebut sebagai Melayu Eropa. Di Indonesia, sisa-sisa dari masyarakat campuran ini dapat ditemukan di Maluku, Flores, Kampung Tugu (Cilincing, Jakarta Utara) serta Kampung Lamno Jaya, Aceh Barat.[2] Masyarakat yang terakhir ini sekarang nyaris punah akibat bencana Tsunami Aceh 2004[3]

Walaupun periode relatif ini singkat, terdapat banyak warisan budaya masyarakat ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Cara bergaul orang Portugis yang relatif terbuka dan tidak rasis membuat budayanya banyak terserap secara mudah. Berbagai tanaman asal Amerika tropis, beberapa jenis kue (terutama bolu), sejumlah produk rumah tangga umum, serta berbagai permainan dan hiburan dari Eropa mulai dikenal masyarakat Nusantara melalui pendatang ini dan keturunannya. Laporan Belanda pada abad ke-19 bahkan menyatakan bahwa bahasa Portugis bahkan masih dipakai oleh orang-orang keturunan campuran Eropa (mestizo) di Batavia. Musik keroncong adalah bentuk musik dari masyarakat campuran warisan masa ini dan kelak menjadi salah satu penciri kultur Eropa-Indonesia di abad ke-20.

Menjadi kelas masyarakat tersendiri : Di bawah VOC (1600-1799)

Penulis sejarah Belanda, Vlekke, banyak menggambarkan peri kehidupan masyarakat Eropa-Indonesia pada abad ke-17 hingga ke-18.[4] Pada masa itu, orang berdarah Eropa terpusat di Batavia dengan jumlah tidak mencapai 10.000 orang, namun berkuasa. Kehidupan mereka sulit, terlihat dari banyaknya yang meninggal beberapa bulan setelah tinggal di Batavia. Praktis semua beragama Kristen. Bahasa yang mereka pakai adalah campuran Belanda, Portugis, dan Melayu (Pasar).

Mereka dapat dipisahkan dalam dua kelompok: trekkers dan blijvers. Trekkers (atau masa kini disebut ekspatriat) adalah orang Eropa yang segera berkeinginan kembali ke Eropa setelah tugasnya selesai dan blijvers adalah mereka yang mampu beradaptasi, lalu menetap di Hindia Belanda. Blijvers ini banyak yang beristri orang setempat (dijuluki Nyai, seperti dalam legenda Nyai Dasima) atau orang Tionghoa. Kedua kelompok ini juga berbeda orientasinya. Para trekkers cenderung mempertahankan nilai-nilai Eropa (barat) sehingga selalu eksklusif dan elitis, sementara para blijvers cenderung meleburkan diri ke dalam nilai-nilai lokal, meskipun mereka tetap merupakan representasi kultur Eropa. Namun demikian, orang Belanda secara keseluruhan pada umumnya lebih banyak terserap dalam nilai-nilai setempat daripada sebaliknya.[5]

Mereka inilah yang menjadi inti masyarakat kelas menengah berciri kosmopolitan di Batavia pada masa itu. Orang-orang ini takut mandi, suka minum-minum (arak Batavia terkenal terbaik di seluruh Asia), dan suka bertaman. Contoh dari orang Eropa-Indonesia adalah Pieter Elberfeld (Erberfeld, menurut Vlekke[4]), seorang keturunan Jerman-Siam yang (dituduh) memimpin kerusuhan pada 1721, dan C. Suythoff, yang adalah menantu pelukis ternama Belanda, Rembrandt.

Pengaruh VOC sebenarnya hanya kuat di Batavia, sebagian Jawa, serta di Maluku & Minahasa. Di wilayah-wilayah ini mulai muncul perbedaan kelas sosial berdasarkan warna kulit, meskipun belum dilembagakan secara hukum. Masyarakat Eropa dan keturunannya menempati kawasan terpisah dari kelompok lainnya. Di dalam masyarakat ini juga mulai terjadi segregasi. Kaum trekkers serta blijvers yang tidak memiliki darah campuran (disebut "Belanda totok") menganggap dirinya lebih "tinggi" daripada mereka yang memiliki darah campuran. Kaum campuran (miesling) ini biasanya dipekerjakan di kantor-kantor dagang untuk membantu tugas-tugas pencatatan atau lapangan. Pendidikan mereka kurang diperhatikan dan banyak bergaul dengan para budak. Sebagai akibatnya, mereka banyak menyerap budaya lokal dan kurang memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang memadai. Bahkan tercatat bahwa pada akhir abad ke-18 banyak keturunan Belanda/Eropa yang lebih fasih berbahasa kreol-Portugis atau Melayu Pasar daripada bahasa Belanda. Dari mereka ini kemudian muncul dialek bahasa Belanda yang khas: Indisch Nederlands, dan sejenis bahasa kreol yang dikenal sebagai bahasa Pecok. Di masa ini pula sejumlah budak lokal yang dibebaskan dan kemudian memeluk agama Kristen lambat-laun ikut terserap dalam masyarakat Eropa-Indonesia.

Masa keemasan : Hindia-Belanda (1800-1942)

Keluarga campuran Belanda (ayah) dan Indo (ibu) sudah banyak terbentuk sejak kehadiran VOC, dan menguat pada abad ke-19 dan ke-20.

Perubahan besar yang terjadi di Eropa pada awal abad ke-19 (perang Napoleon) dan diberlakukannya Cultuurstelsel oleh Gubernur Jenderal van den Bosch membuat orang Eropa-Indonesia mulai menyebar ke berbagai tempat di Nusantara, terutama di Jawa dan sebagian Sumatera, terutama sebagai untuk mengurus perkebunan-perkebunan. Banyak pendatang, sebagian besar berasal dari Belanda ditambah beberapa orang Jerman dan Inggris. Untuk pengaturan ketertiban hukum, pemisahan ke dalam tiga kelompok, Europeanen (orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlanders (pribumi) diberlakukan semenjak 1854 (Regeringsreglement, "Undang-undang Administrasi Hindia") yang mempertegas pemisahan orang Eropa-Indonesia dari komponen masyarakat Indonesia lainnya. Ironisnya, walaupun undang-undang ini memasukkan kaum Eurasia ke dalam kelompok orang Eropa, tetapi mempertegas pula segregasi di dalam kalangan Europeanen, dan secara tidak langsung merugikan kalangan campuran. Ini terjadi karena mulai berdatangannya orang-orang dari Eropa (terutama Belanda) untuk berusaha. Akibatnya, kalangan "totok" (orang Eropa-Indonesia yang bukan campuran) mulai meningkat proporsinya dibandingkan kalangan campuran. Orang keturunan campuran (pada masa inilah istilah "Indo", kependekan dari Indo-Europeanen, mulai dipakai) seringkali dianggap lebih rendah oleh orang Eropa totok meskipun mereka dapat memiliki hak, privilese, dan kewajiban yang sama apabila ayahnya 'mengakui'nya sebagai orang Eropa.[6] Sesuai aturan yang berlaku masa itu pula, Europeanen tidak dapat memiliki lahan secara pribadi, tetapi dapat menyewa dari orang pribumi. Di sisi lain, kaum Indo menurut aturan dibayar per jamnya lebih rendah daripada orang totok dan trekkers karena memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah. Hal ini memunculkan ketidakpuasan di kalangan Indo.

Gerakan liberalisme membuat banyak orang Eropa-Indonesia mulai berasosiasi menurut ideologi, dan pada abad ke-20 menjadi pembangkit gerakan nasionalisme di Hindia-Belanda. Secara politis, orang Eropa-Indonesia pada awal abad ke-20 terpecah menjadi dua kelompok: mereka yang tetap ingin mempertahankan hubungan penuh dengan Belanda (kolonial) dan mereka yang memiliki aspirasi otonomi. Sejumlah orang Eropa dan Indo jelas-jelas mendukung Boedi Oetomo, organisasi pergerakan bercorak nasionalis pertama. Orang-orang Indo maupun "totok" pun mulai terkonsolidasi. Pada tahun 1912 dibentuk Indische Partij (IP) oleh E.F.E. Douwes Dekker dengan dukungan banyak orang Eropa dengan tujuan kemerdekaan penuh bagi Hindia-Belanda. Organisasi radikal ini dibungkam setahun kemudian oleh pemerintahan Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg karena dianggap membahayakan koloni. Kalangan orang Indo mayoritas yang pro-Belanda kemudian mendirikan pula organisasi untuk menandingi radikalisme IP, yaitu Indo-Europees Verbond (IEV) pada tahun 1919 oleh Karel Zaalberg. IEV sangat didukung oleh pemerintah koloni dan segera menjadi fraksi dominan dalam Volksraad yang sudah berdiri pada tahun 1916.

Pada tahun 1930 diketahui terdapat 246.000 orang Eropa-Indonesia (Europeanen), termasuk Indo. Jumlah ini mencakup sekitar 0,4% dari total 60,7 juta penduduk Hindia Belanda. Dari jumlah itu, 87% berkewarganegaraan Belanda. Seperempat dari warganegara Belanda ini lahir di Belanda.[7]

Masa suram: Pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1939-1950)

Sejak masa ini mulai terjadi emigrasi besar-besaran orang Eropa-Indonesia ke luar Indonesia.

Pada Perang Dunia Kedua, orang Indo mengalami masa yang suram, baik yang tinggal di Eropa maupun Asia. Di Eropa, Jerman Nazi menduduki banyak negara dan memusuhi mereka yang bukan "Arya" asli (Eropa asli]). Di Asia, pada perang Pasifik, tentara Jepang memperlakukan penduduk jajahannya dengan kejam, apalagi terhadap orang-orang dari Eropa (termasuk Indo). Banyak di antara mereka yang dapat melarikan diri, pergi ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris (salah satu negara Eropa yang tidak diduduki tentara Nazi), Australia (mengabaikan kebijakan ras- White Australia Policy), Selandia Baru dan Kanada karena mereka dapat diterima sebagai pelarian perang.

Situasi sangat sulit dialami oleh mereka yang terkait dengan Jerman. Di periode awal (1939-1942) mereka ditangkapi oleh pemerintah Hindia Belanda dan diusir. Walter Spies, seorang seniman terkenal, menjadi korban pada masa ini. Situasi agak membaik tetapi tetap buruk ketika Jepang masuk. Mereka dibebaskan (karena yang ditangkapi kemudian adalah orang-orang dari negara Sekutu, seperti Belanda, Inggris atau Perancis) namun menjadi sasaran salah tangkap karena penampilan yang sama. Akibatnya banyak yang memilih keluar dari Hindia Belanda.

Pasca-kemerdekaan Indonesia dan diaspora (1945-1965)

Orang Indo di atas kapal "Castel Felice" tiba di Rotterdam tahun 1958, menyusul peristiwa "Sinterklas Hitam"

Perlawanan Indonesia terhadap Belanda yang mencoba menguasai Indonesia kembali menimbulkan perasaan permusuhan di kalangan pribumi Indonesia terhadap mereka yang pro-Belanda. Mereka mencurigai siapa saja yang menyerupai orang Eropa (semua orang kulit putih dianggap pro-Belanda) atau yang mendukung penjajahan kembali. Orang Indo, yang kebanyakan menghendaki kembalinya Belanda, merasa takut dan banyak yang melarikan diri ke koloni jajahan Inggris - Malaysia dan Singapura. Maka dimulailah gelombang "repatriasi" warga Eropa-Indonesia ke Belanda. Pengakuan kedaulatan Indonesia pada akhir tahun 1949 memicu peningkatan jumlah repatriat. Tidak mudah bagi banyak orang Eropa-Indonesia untuk hidup di Belanda karena terjadi penolakan oleh sebagai warga Belanda yang merasa tersaingi dalam pencarian lapangan pekerjaan. Akibatnya banyak dari mereka yang kemudian kembali beremigrasi ke negara ketiga, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, atau Kanada.

Antara tahun 1945 dan 1965 diperkirakan terdapat 300.000 orang Belanda, Indo, ataupun orang Indonesia yang memilih pergi/kembali ke Belanda. Migrasi ini terjadi secara bergelombang. Banyak di antara mereka belum pernah ke Belanda sama sekali.

Paling tidak terjadi migrasi dalam lima tahap:

  • Tahap pertama, 1945-1950: setelah penyerahan Jepang, sekitar 100.000 orang tawanan dibebaskan Jepang dan dipulangkan ke Belanda, meskipun sejumlah orang memilih bertahan di Indonesia dan mengalami masa sulit selama Perang Kemerdekaan.
  • Tahap kedua, 1950-1957: Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, sejumlah tentara dan pegawai pemerintahan Belanda dipulangkan, setelah diminta memilih. Di antara mereka banyak orang-orang bekas KNIL: 4000 orang Maluku dan juga tentara Belanda asal Afrika. Jumlah total tidak diketahui. Proses ini menyulut terjadinya Pemberontakan Republik Maluku Selatan
  • Tahap ketiga, 1957-1958: Setelah "Nieuw-Guinea-kwestie", sekitar 20.000 orang dipulangkan dari Papua ke Belanda.
  • Tahap keempat, 1962: setelah Belanda diharuskan meninggalkan Papua dan Papua diserahkan kepada UNTEA, sekitar 14.000 personal Belanda dipulangkan. Pada masa UNTEA pula terjadi emigrasi sekitar 500 orang Papua ke Belanda.
  • Tahap kelima, 1957-1964: Setelah Indonesia memberlakukan undang-undang kewarganegaraan (UU 62/1958), yang memaksa orang-orang Eropa-Indonesia harus memilih kewarganegaraan. Jika ingin menetap mereka harus melalui proses naturalisasi dan jika ingin tetap sebagai orang Belanda (Europeens) mereka harus meninggalkan Indonesia. Pada masa ini juga banyak terjadi emigrasi dari orang-orang keturunan asing yang tidak ingin menjadi warga negara Indonesia.

Kiprah budaya kaum Indo sebelum diaspora

Di akhir abad ke-19 orang Eropa dan Indo banyak menyerap unsur budaya lokal dan melahirkan kultur Indisch, sebagai hibrida antara budaya Eropa (Belanda) dan berbagai budaya lokal Indonesia. Kebaya dengan potongan khas dan warna putih sering dikenakan oleh perempuan Eropa. Corak batik juga memiliki kekhasan motif tersendiri. Foto diambil 1888, koleksi Tropenmuseum Amsterdam.

Kaum Indo memiliki ciri-ciri budaya percampuran dari kebudayaan Barat (Eropa) dan kebudayaan Timur (Indonesia atau Tionghoa). Percampuran budaya ini sedikit banyak berkaitan dengan derajat "ketercampuran" rasial masing-masing individu dan latar belakang etnis keluarga mereka. Hal ini membuat kelompok ini sukar didefinisikan, bahkan oleh anggotanya sendiri, sehingga mereka sulit menyatukan diri sebagai satu kekuatan politik. Situasi ini menjadi bencana bagi mereka ketika terjadi Perang Pasifik dan masa-masa awal Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Kaum Eurasia (Mesties) mendominasi penampilan fisik kelompok etnik ini. Sensus penduduk tahun 1930 menunjukkan bahwa sekitar 75% golongan Europeanen memiliki garis keturunan campuran. Sisanya adalah orang Eropa totok ("murni") serta orang kelompok etnik lain yang dianggap layak sebagai anggota golongan legal ini.[7] Kerumitan latar belakang rasial ini membentuk suatu rentang fenotipe (penampilan luar) yang luas, meskipun tidak semua anggota golongan orang Eropa mengidentifikasi diri sebagai etnik Indo, terutama dari kalangan trekkers (ekspatriat). Muncul kemudian berbagai istilah untuk menyebutkan derajat kepekatan warna kulit, seperti koffie met melk ("kopi susu"), kwart over zes (pukul enam kurang seperempat), half zeven ("pukul setengah tujuh"), bijna zeven uur ("hampir pukul tujuh"), hingga zo zwart als mijn schoen ("segelap warna sepatuku") yang paling "kelam"[8]. Dikenal pula di masyarakat julukan yang berkesan merendahkan, seperti "sinyo" atau "noni" diberikan kepada anak-anak Indo. Oleh masyarakat pribumi julukan ini diperluas bagi sebutan semua anak-anak golongan kulit putih.

Di kalangan Indo telah umum diketahui, semakin tinggi "derajat keeropaan" seseorang, semakin tinggi derajat sosialnya. Maka tidak mengherankan bahwa sebagian besar berusaha mengidentifikasi diri sebagai orang Eropa. Kaum perempuannya bercita-cita untuk menikah dengan orang Eropa.[9] Aspek budaya lokal dianggap lebih "rendah" atau "kasar"[9]. Stratifikasi sosial bernuansa rasis ini sedikit banyak muncul dari asal-usul orang Indo, yang kebanyakan adalah keturunan dari kebiasaan pergundikan meluas di kalangan pria Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 akibat kurangnya perempuan Eropa. Orang-orang Mestizo dianggap sebagai "keturunan hubungan gelap". Kebanyakan mereka dibesarkan oleh ibu mereka dalam tradisi lokal, sehingga pendidikannya dianggap kurang, juga dalam kemampuan berbahasa Belandanya. VOC, sebagai penguasa, tampaknya juga tidak terlalu peduli dengan situasi ini. Namun demikian justru masuknya unsur budaya lokal yang menjadi pembeda mereka dan orang Belanda pendatang, bahkan masih dipertahankan hingga akhir abad ke-20.

Kaum Indo digunakan oleh penjajahan Belanda sebagai "penyangga" kultural agar tidak terjadi pergesekan yang menyebabkan kekacauan politik. Nasib yang sama dialami oleh kaum Tionghoa-Indonesia, yang menjadi "bemper" ekonomi jajahan. Mereka dipandang rendah oleh kaum Belanda totok, tetapi juga memandang rendah kalangan pribumi yang dianggap tidak cakap dan malas. Orang Belanda totok memiliki ejekan bagi orang Indo: kata "Indo" dianggap sebagai singkatan dari indolent (pemalas)[9]. Orang Eropa totok secara sosial dan legal berposisi lebih tinggi daripada mereka yang berketurunan campuran. Walaupun pada beberapa hal mereka berbaur karena orientasi budaya yang sama, dalam banyak hal lainnya (seperti makanan dan kecenderungan estetik) kedua kelompok ini cukup berbeda. Hal ini terlihat nyata ketika terjadi diaspora orang Eropa-Indonesia ke Belanda seusai Perang Dunia Kedua. Orang Belanda banyak yang tidak siap menerima kehadiran orang-orang Indo sehingga sebagian dari mereka beremigrasi ke negara ketiga, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, atau Selandia Baru.[10]

Garis politik sebagian besar kalangan Eropa-Indonesia masa penjajahan cenderung pada status quo: mereka menghendaki kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan sosial seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, ada sebagian kecil yang menghendaki pemerintahan sendiri. Kelompok terakhir inilah yang menjadi salah satu inti pergerakan kemerdekaan Indonesia. Indische Bond (1899) dan Insulinde dapat dianggap mewakili kelompok yang pro-pemerintahan sendiri (tidak di bawah Belanda). Sementara itu, Indo-Europeesch Verbond (IEV, 1919) dapat dianggap sebagai organisasi kaum Indo yang berorientasi ke Belanda.[11] Partai Hindia (Indische Partij, 1911) dapat dianggap sebagai artikulasi politik paling radikal mereka pada awal abad ke-20, karena organisasi inilah yang pertama kali terang-terangan menyatakan ide pro-independen (pemerintahan sendiri untuk Indiers). Sayang sekali bahwa organisasi ini kurang mendapat banyak dukungan dan berumur pendek karena segera dibungkam pemerintah kolonial.

Hubungan yang intens dengan budaya lokal banyak membawa pengaruh kultural dalam kehidupan masyarakat Eropa-Indonesia, dan sebaliknya. Van der Veur (1968) membahas banyak kebiasaan (customs) kalangan Indo[8]. Ciri khas yang utama adalah hubungan kekeluargaan yang kuat. Orang Indo gemar berburu, juga berlatih pencak silat (terutama dari kalangan yang akrab dengan masyarakat lokal) dan bermain layang-layang laga.

Kebanyakan dari mereka adalah penganut agama Kristen, namun mempercayai pula berbagai takhyul lokal dan juga mempraktekkan selamatan/kenduri untuk memperingati suatu tahapan kehidupan. Kalangan Indo pauper (mereka yang hidup dengan kalangan pribumi) bahkan mengenal guna-guna.

Bahasa yang digunakan oleh kalangan Indo pada masa VOC adalah bahasa pijin Portugis yang bercampur dengan bahasa Melayu Pasar. Hal ini diketahui dari suatu catatan seminari dari paruh kedua abad ke-18. Masuknya imigran dan pekerja perkebunan dari Belanda pada abad ke-19 mendorong menguatnya pemakaian bahasa Belanda, namun terjadi banyak "pelanggaran" gramatika oleh mereka, seperti pengalihan fonem, pencampuran dengan kata-kata atau struktur bahasa Melayu, dan pengabaian gender kata. Meningkatnya kesadaran politik akan etnik ini bahkan mendorong tokoh Indo, Ploegman, untuk menjadikan bahasa Belanda varian Indisch ini sebagai bahasa "yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat dalam kehidupan budaya sehari-hari".

Dalam dunia sastra, beberapa karya tulis bermutu dihasilkan oleh penulis-penulis seperti C.F. Winter, van der Tuuk, Ernest Douwes Dekker, Ucee (S.H. Coldenhoff), Louis Couperus, Hans van de Wall, dan E. du Perron. Dari periode setelah Perang Dunia Kedua muncul nama-nama seperti J. Boon (Vincent Mahieu/Tjalie Robinson), Eob Nieuwenhuys, Adriaan van Dis, dan Gertrudes Johannes Resink (puisi).

Di bidang seni lukis Jan Toorop adalah nama yang paling menonjol. Pelukis-pelukis Indo adalah pendukung aliran lukisan Mooi Indië/Indonesië yang menggambarkan romantisme alam dan kehidupan sehari-hari Indonesia. Walter Spies (walaupun ia adalah totok namun amat menyukai budaya Bali) dikenal sebagai pengembang aliran lukisan dekoratif Bali yang khas.

Orang Indo dikenal berbakat di bidang seni musik dan seni pertunjukan. Dalam seni musik orientasi ke musik barat cukup kental, bahkan boleh dikatakan kalangan Indo kelas menengah dan bawah adalah duta musik barat bagi masyarakat non-Eropa di Hindia Belanda/Indonesia. Bentuk musik keroncong, berakar dari musik Portugis, dilestarikan oleh kaum Indo dan memperoleh gaung yang kuat di seluruh lapisan masyarakat di awal abad ke-20 melalui pertunjukan sandiwara komedi stambul. Komedi stambul diperkenalkan oleh August Mahieu, seorang Indo yang menghimpun beberapa orang Indo lainnya untuk menyelenggarakan teater hibrida: bergaya Eropa tetapi dengan kostum a la Timur Tengah. Pertunjukan ini populer di semua kalangan masyarakat (bawah) Hindia Belanda, dan melahirkan berbagai epigon yang juga kemudian populer. Kalangan Indo juga kemudian yang memperkenalkan musik jazz di Hindia Belanda. Jack Lesmana (Jack Lemmers), seorang Indo yang menjadi tokoh utama jazz Indonesia, telah mengenal bentuk musik ini sejak masa kecilnya. Di masa popularitas rock'n roll, orang-orang Indo juga menjadi motornya. Kebijakan anti-Barat Sukarno membuat musik ini berhenti berkembang di Indonesia, tetapi tetap berkembang di Eropa, seiring dengan diaspora kaum Indo. The Tielman Brothers adalah grup musik yang paling menonjol dari kalangan Indo dan sangat populer di Eropa.

Dari segi boga, seni masak Eropa di tangan kaum Indo menjadi kaya rempah-rempah dan memiliki cita rasa yang khas. Orang Indo sangat menyukai masakan lokal, bahkan menikmati rujak[9]. Rijsttafel, suatu bentuk penyajian masakan khas Indisch, dikembangkan dari bentuk penyajian dalam upacara selamatan. Kue-kue khas juga muncul, seperti klappertart, kue lapis legit, dan bika ambon, selain juga kue bolu. Perkembangan seni boga ini berkaitan pula dengan kegemaran orang Indo untuk berpesta.

Dari sisi busana, muncul pada abad ke-19 kebaya yang khas dipakai perempuan Eropa; bahkan kemudian muncul batik Belanda, batik dengan motif-motif pengaruh Eropa[12]. Kebaya Belanda ini mengalami revivalisasi pada masyarakat Indonesia modern.

Orang Indo masa kini

Semenjak Orde Baru, orang Eropa-Indonesia di Indonesia hanya merupakan bagian sangat kecil dari penduduk Indonesia. Peraturan imigrasi yang ketat praktis tidak memungkinkan masuknya orang Eropa ke Indonesia tanpa melalui naturalisasi yang memakan waktu bertahun-tahun. Secara kultural mereka biasanya terserap ke dalam kultur kosmopolitan Jakarta, atau kultur lokal tempat mereka tinggal. Mereka dapat dikatakan bukan merupakan subkultur yang khas di Indonesia.

Keadaan yang agak berbeda terjadi di Belanda. Badan statistik Belanda, CBS, pada tahun 1990 mencatat 472.600 orang penduduk Belanda memiliki keturunan Indonesia, 187.700 di antaranya lahir di Hindia Belanda/Indonesia. Menurut laporan demografi tahun 2003, pada tahun 2001 tercatat 458.000 orang yang merupakan generasi pertama dan kedua keturunan Hindia Belanda. Di Belanda mereka merupakan kelompok minoritas yang signifikan dan memiliki kekhasan budaya tersendiri. Secara statistik mereka masih dipisahkan dan dianggap sebagai kelompok minoritas terbesar, sekaligus sebagai kelompok minoritas yang paling terintegrasi.[13]Festival tahunan Pasar Malam Besar merupakan kegiatan besar dari masyarakat Eropa-Indonesia di Belanda. Krancher, seorang warga negara AS keturunan Eropa-Indonesia dan pernah menetap di Indonesia, mencatat secara kritis adanya "kebangkitan kembali" pada generasi ketiga keturunan kaum Indo di Belanda.[14]

Keturunan Eropa-Indonesia juga tersebar di seluruh dunia, baik langsung dari Indonesia atau pun dari Belanda. Banyak di antara mereka tinggal di Amerika Serikat, Kanada atau Inggris, beberapa di antaranya menjadi orang yang cukup terkemuka.

Masa depan

Banyak kalangan memperkirakan bahwa Eropa-Indonesia sebagai etnik dengan ciri-ciri khas tersendiri akan menghilang, bahkan dari kalangan mereka sendiri. Penyebab yang paling jelas adalah karena tidak ada lagi dorongan untuk terjaganya warisan gaya hidup mereka. Kalangan muda pada umumnya cenderung menyerap budaya barat, yang memang sejak awal menjadi orientasi mayoritas orang Indo[10]. Di Indonesia, kultur Indo memudar karena kalangan generasi muda telah menjadi bagian utuh dari masyarakat modern Indonesia bahkan dapat dikatakan sedikit banyak turut membentuk budaya khas Indonesia. Tokoh kemerdekaan Indonesia, Sutan Sjahrir, pernah menyinggung nasib orang Indo di Indonesia pascakemerdekaan:

"...posisi kaum Indo ... dalam masyarakat kolonial kita ini telah berubah. Seiring berjalannya waktu, kaum Indo secara perlahan-lahan menjadi orang Indonesia, atau dapat pula dikatakan bahwa orang Indonesia secara bertahap mencapai taraf yang sama dengan orang Indo. Perubahan yang terjadi dalam proses transformasi di dalam masyarakat kita ini pertama-tama menempatkan kaum Indo dalam posisi yang menguntungkan, dan sekarang proses yang sama mengambil keuntungan itu. Bahkan jika mereka mempertahankan status keeropaan mereka berdasarkan hukum, mereka tetap akan sejajar dengan orang Indonesia, karena semakin lama akan lebih banyak orang Indonesia yang terdidik daripada orang Indo. Posisi yang menguntungkan mereka kehilangan landasan sosialnya, dan sebagai hasilnya posisi itu akan lenyap." (Sutan Sjahrir, 1937)[15]

»»  BERIKUTNYA...